"Mencoba" adalah sebuah puisi yang menantang pemikiran kita tentang kehidupan dan kematian. Ditulis oleh Yayan Deka pada 5 Januari 2024 di Semarang, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan berbagai pilihan dalam hidup dan konsekuensi dari setiap pilihan, termasuk pilihan untuk menghadapi kematian. Dengan gaya naratif yang mendalam dan penuh pertanyaan retoris, puisi ini menggambarkan keinginan untuk memahami makna hidup melalui lensa pengalaman yang ekstrem.
Puisi: Mencoba
Jika kau boleh mencoba apa saja di dunia, kau mau coba apa?
Apakah itu makanan?
Ataukah pakaian?
Apa? Kesuksesan? Menarik.
Bukan kegagalan?
Mereka bilang kegagalan membuatmu kuat,
berdiri tegak meski cobaan berat.
Kalau kau sudah mencoba kegagalan,
kau mungkin takkan terkalahkan.
Ah, kau tidak tertarik?
Baiklah.
…
A-aku? Maksudmu … bagaimana jika aku?
Jika boleh mencoba, mungkin aku ingin mati.
Jangan terkejut, a-aku jadi merasa bersalah.
Lanjutkan? Ba-baiklah.
Aku rasa,
mati adalah satu-satunya di dunia,
yang tidak bisa dicoba-coba.
Sekali mati, ya sudah.
Tidak perlu menanyakan keyakinanku apa.
Tidak perlu menanyakan agama atau suku bangsa.
Sungguh tidak perlu.
Karena setelah mati,
sudah berakhir kehidupanmu saat ini.
Meski nantinya dibangkitkan lagi,
itu soal lain, dan
mungkin kepercayaan lain bagi orang lain.
Mati adalah jalan buntu, tak ada jalannya lagi.
Mungkin seperti ujung dunia, jika memang ada.
Kau tidak tau apa yang ada di ujung sana.
Namun mati berbeda dengan apakah itu ada atau tidak seperti ujung dunia.
Atau seperti belahan bumi selatan yang jauh lebih besar dari utara.
Atau seperti keinginanku mencoba kematian.
Mati ada dan menjadi sesuatu yang pasti bagi yang hidup.
Entahlah.
Kau yang mengajakku mengandai apa saja.
Jika mati memang bisa dicoba,
apa kau mau mencobanya?
Mencoba mati … bukankah terasa menegangkan?
…
Semarang, 5 Januari 2024
Salam,
Yayan Deka.
Analisis Puisi
Puisi "Mencoba" berfungsi sebagai refleksi mendalam tentang keberanian untuk menghadapi berbagai pengalaman hidup, termasuk pengalaman yang paling ekstrem—kematian. Diawali dengan pertanyaan sederhana tentang apa yang ingin dicoba, penulis kemudian membawa pembaca pada perjalanan pemikiran yang semakin kompleks.
Bait Pembuka: Dalam bait pertama, penulis mengajak pembaca untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang dapat dicoba dalam hidup. Mulai dari makanan hingga kesuksesan, penulis menggugah pertanyaan tentang apa yang sebenarnya penting untuk dicoba.
Pertanyaan tentang Kegagalan: Penulis kemudian beralih ke tema kegagalan, menyoroti bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan yang membangun kekuatan. Ini mencerminkan pandangan bahwa pengalaman buruk dapat memberikan pelajaran berharga.
Pergeseran Fokus: Ketika penulis berani mengungkapkan keinginan untuk "mencoba mati," kita dihadapkan pada kontradiksi emosional. Ini adalah pernyataan yang mengejutkan dan mengundang refleksi tentang kehidupan dan pilihan yang dihadapi.
Kesadaran tentang Kematian: Penulis menggambarkan kematian sebagai jalan buntu, menekankan bahwa kematian adalah pengalaman yang tidak dapat diulang. Dengan kalimat "Sekali mati, ya sudah," penulis menegaskan ketidakpastian dan ketidakberdayaan dalam menghadapi akhir kehidupan.
Misteri Ujung Dunia: Di akhir puisi, penulis mengibaratkan kematian dengan misteri ujung dunia yang tidak pernah diketahui. Ini menciptakan perasaan ketegangan dan mempertanyakan keberanian untuk menghadapi sesuatu yang tidak pasti.
Refleksi
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pilihan dalam hidup dan betapa kompleksnya hubungan kita dengan kematian. Dengan menggunakan gaya naratif dan pertanyaan retoris, puisi ini berhasil membawa kita pada perjalanan emosional yang dalam. Menghadapi kematian bukan hanya soal akhir, tetapi juga tentang bagaimana kita memaknai setiap pengalaman dalam hidup. Puisi ini menjadi pengingat bahwa keberanian untuk mencoba, meskipun pada hal yang paling menakutkan sekalipun, bisa menjadi bagian penting dari perjalanan kita sebagai manusia.