![]() |
(Src: Pixabay) |
“Eh,
nak udah jam lima! Bangun! Sholat dulu gih!”
“Ehmm,
bentar lagi bu.”
“Bu?”
Bodohnya pikirku. Masih saja bermimpi. Kutatap jam dinding di samping kiri meja
belajarku. Lalu aku beralih menatap tempat tidur di kananku. Ah, begitu menggoda,
tiga jam tidur terduduk, lalu melihat kasur empuk di sampingku. Tak lagi
tertahankan. Kurebahkan sejenak punggungku yang terasa kaku. “Uh,” aku
menggeliat sebentar.
“Bodoh!”
Aku mulai ingat sesuatu. Bisa-bisanya aku berleha-leha di tempat tidur. Dengan
semangat yang terpaksakan, aku turun. Mulai berjalan, berniat membuka pintu.
Kukucek sesekai kotoran sisa tidur di mataku. Aku mulai berjalan mendekat ruang
sebelah. Kubuka tirai hijau berenda yang menutup pintunya. “Yah? Bangun, udah
jam lima! Sholat dulu yuk.”
Melihat
ayah yang belum juga menggeliat, aku mendekatinya. Menggoyang-goyangkan
tubuhnya, “yah?”
“Astaghfirullah,
panas banget. Ayah demam. Bentar yah, Ahlam ambil kompres dulu.” Seketika
mataku mulai melebar. Malas ini mati, lalu tumbuh iba, bingung, takut,
khawatir, dan rasa lainnya yang tak ku tahu apa itu. Kakiku berjalan cepat di
rumah sempit nan sederhana ini. Pikirku mulai macam-macam. Kuambil baskom,
kuisi air dari jembangan. Kakiku
masih bergerak sana sini, lalu mulai kembali ke kamar ayah, dengan tangan
menyambar handuk kecil dari lemariku, yang jarang kupakai. Segera kumasukkan
handuk itu dalam baskom, kuperas kemudian. Lalu kutempelkan di jidat ayahku.
Rasaku masih tak jelas. “Astaghfirullah!” Kembali aku tersadar.
“Sholat
subuh!” Tangan kananku menampar jidatku sendiri. Kembali kakiku jalan cepat ke
belakang rumah, mengambil air wudlu. Temaram pagi ini menemani wudluku, dengan
sesekali katak di sawah menyemangati. Gerimis di luar membuat semakin dingin.
Kulit ini, macam kehilangan darah, memutih dan membiru di bagian otot. Namun kutahankan,
ku tengadahkan kedua tangan menghadap kiblat. Seraya memanjatkan doa setelah
bersuci hendak menjalankan kewajiban sebagai
umat salah satu dari beragam agama yang ada di dunia.
Setelahnya,
kumintakan kesembuhan ayahku. Aku berharap doaku terkabul lebih cepat. Aku
duduk lebih lama dari biasanya, meminta lebih kepada Sang Pencipta. Karena
hanya kepadaNya-lah aku bisa mengadu dan meminta. Aku bukan siapa-siapa, atau
apa, melainkan hanya hamba yang tak berdaya. Sesekali tetes air dari mata mulai
terjatuh. Mengingat, aku sendiri begitu banyak dosa, dan sekarang kuminta
lebih. Namun bagaimana lagi, kemana lagi
harus kuminta pertolongan selain kepadaNya? Kepada katak di sepetak
sawah, di belakang rumah?
Sulit
untuk dipercaya. Saat kutempelkan punggung tanganku ke jidat ayah, sebelum
kuganti kompresan, tangan ini terasa mulai dingin. Bibir ini juga ikut memucat,
demam ayah tidak turun sedikitpun. Malah bertambah. Badai besar mulai
bergemuruh di dalam otakku. Mataku mulai menerawang tak jelas, jelalataan kesana
kemari.
“Kupanggil
ambulan?” Tanyaku membatin diri sendiri. “Ah, tidak. Uang dari mana?”
“Kubawa
ke rumah sakit?” Kembali lampu kuning muncul di kepalaku. “Ah, tidak. Mau pake
apa? Motor gak mungkin, ayah udah terlanjur gak bisa bangun.”
Bermodal
nekat saja takkan cukup. Aku perlu biaya, aku perlu uang yang tak sedikit untuk
memanggil ambulan. Namun, sejauh yang kutahu, takkan datang begitu saja ambulan
itu. Apalagi aku, anak petani sepetak sawah di belakang rumah, yang
memanggilnya, yang belum dipastikan akan mampu membayar biaya kesehatan yang
melangit. Memang program-program seperti “Jaminan Kesehatan Rakyat” sudah
dicanangkan, tapi aku ini terlanjur kaya. Tidak terdaftar program seperti itu.
Ayahku, petani kecil, lebih kaya dari mereka yang punya mobil dua, mereka yang berumah tingkat
dua, dan mereka yang berdasi. Jadi, kami tak pantas mendapatkan program seperti
itu, merekalah yang lebih memerlukan.
Pikiran
ini mulai buntu. Tak ada cara lain lagi. Akan kulakukan itu, yang terpenting
dan paling genting sekarang. Kupijat layar smartpone
yang kudapatkan dari lomba menulis oleh sebuah penerbit buku. Sesaat kemudian
kuucap, “terimakasih banyak.”
“Akhirnya,”
aku menghela napas, menatap ayah yang terbaring. Namun aku bersyukur, karena ia
tak lagi terbaring di atas tempat tidur. Melainkan di dalam salah satu ruang
pasien di rumah sakit Fatmawati yang
berjarak tujuh kilo dari rumahku.
“Tapi,
kenapa Yah?” Air sebesar biji kacang hijau jatuh tanpa komando atau parasut ke
lantai. Kedua tanganku menggenggam erat tangan ayah. Sesekali kucium, kuelus,
dan kutetesi dengan air mata. Dokter di sampingku hanya menepuk-nepuk pundakku.
Aku yang duduk dengan kedua lututku tak menghiraukan tepukannya. Aku hanya
menghiraukan sebuah raga di depanku, yang tengah terbaring lunglai, yang mulai
beku, yang tak mungkin menatap atau tersenyum apalagi menasehatiku lagi.
Aku
masih meneteskan air mata. Kejantananku serasa mulai hilang ditelan duka.
Keikhlasanku belum juga datang, ataupun semangat dan impian. Tapi apalah guna.
Aku hanya ingin mereka menatapku, tersenyum padaku yang sukses mengejar mimpi.
Namun mereka pergi mendahului pencapaian mimpiku. Untuk siapa lagi aku
berjuang? Jika saja tak ada larangan, jika saja tak membebankan mereka di dunia
setelah ini, jika saja mereka takkan bertanggung jawab terhadapku kelak, dan
jika saja aku bisa bertemu mereka, aku akan menyusulnya. Pisau tergeletak di
dapur, gunting di atas mejaku, kaca di jendela kamarku, kurang apa? Jika saja
aku berani nekat, kupastikan gunting ini mencabik perutku, memotong ususku
Jendela itu jelas akan pecah, lalu pecahannya menghancurkan tenggorokanku,
pisau di dapur akan berpindah ke leherku, lalu cairan merah kental akan
membasahiku. Namun, apa aku bisa bertemu mereka, orang tuaku, setelah kulakukan itu? Untuk memikirkannya
saja, aku tak sanggup. Apalagi melakukan hal gila yang jelas-jelas dilarang dan
membebabi tanggungan mereka terhadapku di alam sana. Maka, hanya air ini, air
mata, yang mampu ku keluarkan, air yang berisi segala rasaku, yang terkandung serpihan
hatiku. Selain itu, berhubung aku tak bisa berjumpa lagi dengan mereka, hanya
bisa ku kirimkan doa terhadap mereka, semoga sampai dan terkabul. “Berikanlah
ayah dan ibuku tempat yang pantas di sisiMu. Aamiin.”
Malam
ini makin terasa. Jeritan jangkrik di dapur mulai terdengar. Kadang terdengar
juga nyanyian bangkong, katak besar,
di sawah. Ku tatap lewat jendela, dewi malam yang biasa menemaniku absen. Sebagai
gantinya, langit mengirimkanku air. Mungkin untuk menggantikan air mataku yang
habis, meninggalkan jendul di mataku.
Malam
ini sangat berbeda. Tak ada tumpukkan buku di atas meja. Tak ada pula temaram
ruangan. Lampu belajar ini tak memancarkan cahayanya. Jika didengar baik-baik,
terdengar suara “tut” berulang dengan teratur dari sikring depan rumah. Namun
tak kuhiraukan semua itu. Termasuk buku-buku yang berserakan di lantai bersama
dengan selimut dan bantal, atau meja yang sudah ku tarik mendekat pintu kamar.
Aku hanya duduk bersidakep di kursi yang sengaja ku letakkan di depan jendela
kamar. Membiarkan bayu membawa butiran hujan, menerobos kamar untuk membuatku
menggigil. Tak ada rencanaku untuk segera pergi ke alam bawah sadarku atau
sekadar menutup mata dan membaringkan tubuhku. Bukan hanya rencana yang hilang,
sepertinya sebagian otakku ikut menghilang. Mungkin jatuh di rumah sakit, atau
terbawa ayah. Namun tak mengubah tatapanku. Aku masih bisa menatap jauh, ke
titik pangkal pertemuan langit dan daratan melalui jendela. Berharap ayah berjalan, tersenyum ke arahku,
bersamaan dengan ibu di sampignya.
30 Agustus 2017
Yayan Deka