"Batu Sungai" karya Deka Diwarsa menggambarkan perbandingan antara kehidupan manusia yang penuh dengan pemikiran dan keluhan, dan ketenangan batu sungai yang menjalani kehidupannya tanpa banyak berpikir. Dalam puisi ini, penulis menggugah pembaca untuk merenungkan bagaimana seringkali kita terjebak dalam kekhawatiran dan keluhan, sementara batu sungai yang tampak tak berdaya justru memiliki kekuatan untuk menghadapi segala tantangan tanpa keluh kesah. Puisi ini mengajak kita untuk meneliti cara pandang kita terhadap kehidupan dan menghadapi tantangan dengan ketenangan.
Puisi: Batu Sungai
Kadang yang menyulitkan itu justru karena kita adalah manusia. Satu-satunya makhluk di dunia yang diberikan akal untuk berpikir. Semua hal harus dipikirkan baik-baik. Kadang malah jadi terlalu banyak berpikir.
Coba saja jadi seperti batu di sungai. Diterpa deras arus, ditumbuhi lumut, diduduki katak, diam saja. Tidak banyak berkata-kata. Tidak banyak berpikir. Dan tidak banyak berkeluh-kesah. Mengatakan sudah tidak kuat. Sudah habis kesabaran. Sudah terlalu banyak menderita sampai rapuh karena saking seringnya terkena panas terik mentari dan air sungai. Lapuk. Batu sungai tidak pernah seperti itu.
Batu sungai …
kadang terbawa arus deras yang menerjang
kadang mengembara tanpa arah tujuan
kadang hanya menatap langit dalam diam
kadang terinjak kaki katak yang mencari makan
bahkan … kadang menahan haus karena kekeringan
menunggu kapan datang hujan
menunggu … lumut yang akan bersemayam
Kemudian kembali tenggelam
Terbawa arus sungai … terdampar
Melewati siklus tak berkesudahan
Hingga akhirnya mulai rapuh
Di ujung waktunya …
Mungkin tak kuat lagi menahan beban katak
Mungkin tak kuat lagi berkelana dengan deras arus
Mungkin tak kuat lagi melewati kemarau
Mungkin tak akan sama lagi
Dan mungkin akan menghilang
Menyatu dengan sedimentasi sungai
Namun sekalipun
Di sela-sela berbagai prosesnya
Tidak pernah ada keluhan
Tidak pernah ada umpatan
Tidak pernah
Tidak pernah ada
Apakah mungkin manusia dikalahkan oleh segumpal batu sungai?
Deka Diwarsa
Analisis Puisi
Puisi "Batu Sungai" berfungsi sebagai kontra-narasi terhadap sifat manusia yang sering kali berkeluh kesah dan terlalu banyak berpikir. Dalam bait pertama, penulis menyampaikan bagaimana kemanusiaan kita justru sering kali menyulitkan, mengakibatkan banyaknya pikiran dan ketidakpuasan.
Bait pertama: Menyiratkan bahwa manusia, sebagai makhluk berpikir, seringkali merasa tertekan dengan pemikiran yang berlebihan. Ini memberikan konteks emosional yang kuat tentang bagaimana beban pikiran bisa mengganggu ketenangan jiwa.
Perbandingan dengan Batu Sungai: Dalam bait selanjutnya, penulis memperkenalkan batu sungai sebagai simbol ketenangan dan penerimaan. Batu tersebut tetap kuat meskipun diterpa arus deras dan berbagai tantangan. Metafora ini menyampaikan bahwa batu, meskipun tampak tidak berdaya, memiliki cara tersendiri untuk menghadapi hidup.
Siklus Hidup: Puisi ini juga menggambarkan siklus hidup yang tak terhindarkan—dari mengalami berbagai tantangan hingga akhirnya menjadi rapuh dan kembali ke alam. Proses tersebut menunjukkan bahwa meskipun batu tidak mengeluh, ia tetap menghadapi berbagai keadaan dengan tenang.
Pertanyaan Retoris: Di akhir puisi, penulis mengajukan pertanyaan, "Apakah mungkin manusia dikalahkan oleh segumpal batu sungai?" Ini mengajak pembaca untuk merenungkan kekuatan batin dan cara kita menghadapi kesulitan, serta menggarisbawahi ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi tantangan yang sering kali kita ciptakan sendiri.
Refleksi
Puisi "Batu Sungai" mengingatkan kita untuk merenungkan sikap mental kita terhadap kehidupan. Alih-alih terjebak dalam keluhan dan ketidakpuasan, mungkin kita bisa belajar dari batu sungai yang sederhana dan kuat. Menerima keadaan dan menjalani hidup dengan tenang bisa jadi adalah cara untuk menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan. Sebuah pelajaran berharga untuk menjadikan hidup lebih bermakna tanpa dibebani oleh pikiran yang berlebihan.