[Puisi] Batu Sungai

Maret 03, 2023

"Batu Sungai" karya Deka Diwarsa menggambarkan perbandingan antara kehidupan manusia yang penuh dengan pemikiran dan keluhan, dan ketenangan batu sungai yang menjalani kehidupannya tanpa banyak berpikir. Dalam puisi ini, penulis menggugah pembaca untuk merenungkan bagaimana seringkali kita terjebak dalam kekhawatiran dan keluhan, sementara batu sungai yang tampak tak berdaya justru memiliki kekuatan untuk menghadapi segala tantangan tanpa keluh kesah. Puisi ini mengajak kita untuk meneliti cara pandang kita terhadap kehidupan dan menghadapi tantangan dengan ketenangan.


Puisi: Batu Sungai

Kadang yang menyulitkan itu justru karena kita adalah manusia. Satu-satunya makhluk di dunia yang diberikan akal untuk berpikir. Semua hal harus dipikirkan baik-baik. Kadang malah jadi terlalu banyak berpikir. 


Coba saja jadi seperti batu di sungai. Diterpa deras arus, ditumbuhi lumut, diduduki katak, diam saja. Tidak banyak berkata-kata. Tidak banyak berpikir. Dan tidak banyak berkeluh-kesah. Mengatakan sudah tidak kuat. Sudah habis kesabaran. Sudah terlalu banyak menderita sampai rapuh karena saking seringnya terkena panas terik mentari dan air sungai. Lapuk. Batu sungai tidak pernah seperti itu.


Batu sungai …

kadang terbawa arus deras yang menerjang

kadang mengembara tanpa arah tujuan

kadang hanya menatap langit dalam diam

kadang terinjak kaki katak yang mencari makan

bahkan … kadang menahan haus karena kekeringan

menunggu kapan datang hujan

menunggu … lumut yang akan bersemayam

Kemudian kembali tenggelam

Terbawa arus sungai … terdampar

Melewati siklus tak berkesudahan

Hingga akhirnya mulai rapuh

Di ujung waktunya …

Mungkin tak kuat lagi menahan beban katak

Mungkin tak kuat lagi berkelana dengan deras arus

Mungkin tak kuat lagi melewati kemarau

Mungkin tak akan sama lagi

Dan mungkin akan menghilang

Menyatu dengan sedimentasi sungai

Namun sekalipun

Di sela-sela berbagai prosesnya

Tidak pernah ada keluhan

Tidak pernah ada umpatan

Tidak pernah

Tidak pernah ada


Apakah mungkin manusia dikalahkan oleh segumpal batu sungai?


Deka Diwarsa


Analisis Puisi

Puisi "Batu Sungai" berfungsi sebagai kontra-narasi terhadap sifat manusia yang sering kali berkeluh kesah dan terlalu banyak berpikir. Dalam bait pertama, penulis menyampaikan bagaimana kemanusiaan kita justru sering kali menyulitkan, mengakibatkan banyaknya pikiran dan ketidakpuasan.

  • Bait pertama: Menyiratkan bahwa manusia, sebagai makhluk berpikir, seringkali merasa tertekan dengan pemikiran yang berlebihan. Ini memberikan konteks emosional yang kuat tentang bagaimana beban pikiran bisa mengganggu ketenangan jiwa.

  • Perbandingan dengan Batu Sungai: Dalam bait selanjutnya, penulis memperkenalkan batu sungai sebagai simbol ketenangan dan penerimaan. Batu tersebut tetap kuat meskipun diterpa arus deras dan berbagai tantangan. Metafora ini menyampaikan bahwa batu, meskipun tampak tidak berdaya, memiliki cara tersendiri untuk menghadapi hidup.

  • Siklus Hidup: Puisi ini juga menggambarkan siklus hidup yang tak terhindarkan—dari mengalami berbagai tantangan hingga akhirnya menjadi rapuh dan kembali ke alam. Proses tersebut menunjukkan bahwa meskipun batu tidak mengeluh, ia tetap menghadapi berbagai keadaan dengan tenang.

  • Pertanyaan Retoris: Di akhir puisi, penulis mengajukan pertanyaan, "Apakah mungkin manusia dikalahkan oleh segumpal batu sungai?" Ini mengajak pembaca untuk merenungkan kekuatan batin dan cara kita menghadapi kesulitan, serta menggarisbawahi ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi tantangan yang sering kali kita ciptakan sendiri.


Refleksi

Puisi "Batu Sungai" mengingatkan kita untuk merenungkan sikap mental kita terhadap kehidupan. Alih-alih terjebak dalam keluhan dan ketidakpuasan, mungkin kita bisa belajar dari batu sungai yang sederhana dan kuat. Menerima keadaan dan menjalani hidup dengan tenang bisa jadi adalah cara untuk menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan. Sebuah pelajaran berharga untuk menjadikan hidup lebih bermakna tanpa dibebani oleh pikiran yang berlebihan.